Written By: Zuhria Zeffira (Zoe)
Kenapa yang jadi tolok ukur dari
peribahasa di atas adalah bangsa Romawi? Mungkin, karena bangsa Romawi terkenal
sebagai orang-orang kuat nan gagah perkasa yang nggak tertandingi, seperti dalam
cerita legenda kepahlawanan prajurit Sparta, yang digambarin di film epik berjudul
‘300’. Ceritanya, Raja Persia pengen
naklukin Roma dengan cara damai, tapi dia bakal ngerahin ±10.000 orang bala
tentaranya jika Roma menolak tunduk. Menurut Leonidas, sang panglima perang
Roma yang berharga diri tinggi dan nggak mau diperbudak bangsa lain, sikap Raja
Persia itu terlalu arogan dan nggak tahu tata krama. Saking geramnya, Leonidas
pun mampu ngehabisin ±10.000 tentara Persia hanya dengan ngerahin 300 orang prajurit
terkuatnya saja, meskipun pada akhirnya sih dia kalah karena pengkhianatan
rakyatnya sendiri.
Analoginya, kalau kita hidup di Roma, kita
harus pakai cara orang Roma. Tentu saja, sebagai orang Indonesia yang terkenal dengan
kelembutannya, kita nggak bakal bisa bertahan lama hidup di Roma kalau kita
tetap kekeuh nggunain cara orang
Indonesia. Begitu pula sebaliknya.
Salah satu contoh nyata kebenaran dari
peribahasa di atas bisa kita telaah dari pengalaman nyata teman kuliahku yang bernama Bambang (bukan nama sebenarnya).
Bambang adalah mahasiswa keturunan Indonesia, tapi dia lahir dan besar di
Amerika Serikat. Nggak heran kalau Bahasa Inggris si Bambang ini fasih banget,
persis kayak native-speaker meskipun nama dan wajahnya Jawa banget. Saat
usia 18 tahun, dia berimigrasi ke Indonesia buat ngelanjutin kuliah S1.
Seperti tipikal orang Amerika, Bambang
cenderung individualis dan nggak suka ngurusin hidup orang lain. Di lain pihak,
banyak mahasiswa Indonesia yang justru penasaran banget sama agama yang dianut
oleh si Bambang. Termasuk salah satu dosen bernama Bu Dibyo (bukan nama sebenarnya). Maklum, budaya
orang Indonesia suka kepo (dibaca: knowing
every particular object).
Suatu hari, Bambang sedang asyik ngobrol
sama beberapa orang mahasiswa. Tiba-tiba, Bu Dibyo ikut nimbrung dalam obrolan
para mahasiswa itu sambil bertanya, “What’s your religion, Bambang?” Beliau
ngelemparin pertanyaan itu sambil tersenyum manis demi nunjukin keramahan khas
orang Indonesia. Tampaknya, beliau tertarik dan penasaran banget sama si
Bambang yang berwajah Jawa, tapi kalau ngomong aksen Bahasa Inggris-nya persis
banget kayak Tom Cruise.
Di luar dugaan, ternyata jawaban si
Bambang justru bikin geger seluruh civitas akademika. Waktu itu, dia dengan
santai ngejawab “Don’t ask! Don’t tell!” Jawaban tersebut setara dengan
kalimat “Bukan urusanmu!” Anehnya, mimik wajah Bambang terlihat polos tanpa ada
guratan rasa sungkan sedikit pun saat kalimat tersebut meluncur dari bibirnya.
Bagi orang Amerika seperti Bambang,
pertanyaan tentang agama itu tabu dan nggak pantas ditanyain di depan umum.
Namun, dia lupa kalau sekarang sedang berada di Indonesia, sebuah negara yang
ngejunjung tinggi sopan santun, khususnya pada orang yang lebih tua. Tampaknya,
dia memang lebih suka pakai American ways meskipun sedang berada di
nusantara, tanah keramat peninggalan raja-raja Jawa, yang ngewarisin budaya
membungkuk-bungkukkan badan kepada orang yang berkasta sosial tinggi.
Mendengar respon blak-blakkan itu,
senyuman ramah Bu Dibyo, yang tadinya semanis madu murni, kini mendadak terasa sepahit
kopi. Bagi Bu Dibyo, yang udah paruh baya, jawaban si Bambang itu nggak hanya
nggak sopan, tapi juga berhasil ngeruntuhin harga dirinya sebagai seorang dosen
di depan para mahasiswa. Soalnya, beberapa mahasiswa terlihat tertawa cekikian
ngelihat ulah Bambang si imigran Amerika
Saking malunya, amarah Bu Dibyo pun
meledak bagai gunung vulkanik yang nggak bisa kebendung lagi lahar panasnya.
Alhasil, semua mahasiswa di kelas pun kena imbas dari letupan amarah beliau.
Hari itu, beliau memberi semua mahasiswa tugas kuliah yang sulit banget sebagai
hukuman atas ketidaksopanan si Bambang terhadap beliau. Ibarat pepatah, “Akibat nila setitik, rusak susu
sebelangga.” Akibat kesalahan satu orang, semua mahasiswa kena getahnya.
Tampaknya, Bu Dibyo nggak tahu kalau si Bambang itu orang Amerika. Maklum,
nggak ada sedikit pun potongan bule Hollywood ataupun bule Jalan Jaksa di
tampangnya.
Nggak heran kalau gegar budaya (culture-shock) yang terjadi di antara
Bambang dan Bu Dibyo itu akhirnya ngebuat semua mahasiswa geregetan. Gimana
enggak sebal? Banyak tugas kuliah yang deadline-nya mepet, tapi mereka masih harus berjibaku ngerjain tugas hukuman dari Bu Dibyo yang susahnya bikin
pusing tujuh keliling.
Sebenarnya, kami pengen ngejelasin ke beliau
kalau si Bambang sejatinya adalah orang Amerika, biar kami bisa dapat remisi
hukuman perdata di kelas beliau. Menurut kami, Bambang hanya gagal mahamin etiket, yang
seharusnya dipraktekin sama mahasiswa Indonesia, saat interaksi sama dosen di
ranah formal. Namun, kami ngurungin niat kami itu karena Bu Dibyo udah
terlanjur marah-marah. Alhasil, kami pun hanya bisa pasrah
nerima hukuman dari beliau kayak sekumpulan narapidana intelektual.
Merasa terbenani dengan tugas yang
menggunung, kami pun nggak tahan buat nggak nyumpah serapah si Bambang dalam
hati. Anehnya, ekspresi wajah si Bambang tetap saja terlihat datar tanpa rasa
bersalah. Sejak saat itu, kami ngejuluki Bambang sebagai si 'Imigran Amrik'. Kok bisa? Ya jelas
karena si Bambang nggak mau berakulturasi sama budaya Indonesia meskipun udah
jadi orang Indonesia. Dia kayak imigran yang hanya numpang tinggal di tanah
Jawa, tanpa mau sedikit pun berkompromi sama kebiasaan orang Indonesia yang
memang suka kepo.
Secara ilmiah, otak manusia memang
cenderung pakai mental konsep yang berbeda-beda saat nginterpretasi sebuah
praktek budaya dalam komunikasi lintas budaya. Dengan kata lain, setiap orang
berusaha nerjemahin suatu budaya yang nggak dia kenal dengan cara mengkonvensi
budaya asing itu ke dalam budaya yang lebih familiar
dengan dirinya. Sebagaian besar proses konvensi ini terjadi secara alami karena
budaya bawaan (sejak lahir) itu telah mengakar kuat dalam diri tiap individu.
Dalam hal ini, Bambang nganggep kalau
pertanyaan Bu Dibyo lah yang nggak sopan karena topik tentang agama seseorang
memang nggak pantas buat diobrolin di depan umum menurut budaya Amerika. Selain
itu, relasi dosen-mahasiswa di Amerika memang cenderung kasual banget seperti
teman sendiri. Nggak heran kalau si Bambang nggak ngerasa bersalah saat
ngerespon Bu Dibyo dengan kalimat “Don’t ask! Don’t tell!” yang
terdengar sangat kasar di telinga orang Indonesia.
Di lain pihak, Bu Dibyo nganggep si
Bambang lah yang nggak tahu tata krama karena sikapnya nggak sesuai sama kebiasaan umum
di Indonesia. Menurut mental konsep budaya dalam otak Bu Dibyo, pertanyaan
tentang agama seseorang itu udah jadi hal yang wajar di Indonesia. Buktinya,
kolom agama tercantum di KTP orang Indonesia, meskipun hal itu nggak
dipraktekin di negara-negara lain. Selain itu, relasi dosen-mahasiswa di
Indonesia cenderung lebih kekeluargaan kayak orang tua dan anak. Jadi,
mahasiswa harusnya bisa milih redaksi kata yang sopan saat berniat 'nolak' sesuatu dari dosen paruh baya.
Dari contoh pengalaman gegar budaya di
atas, penyesuaian diri memang sangatlah krusial saat kita bersinggungan sama
budaya asing. Dalam hal ini, budaya merupakan 'hal keramat' yang dijunjung oleh umat manusia dalam kehidupan.
Nggak heran kalau cara bertindak atau bicara kita nggak sesuai dengan nilai
budaya di mana kita berada, baik secara sengaja maupun nggak disengaja, maka
kita bakalan dianggap nyinggung orang-orang yang ada di sekitar kita.
Sebenarnya, tragedi berdarah genosida di
Jerman, yang tercatat dalam sejarah dunia, awalnya juga disebabin oleh
peristiwa gegar budaya, lho! Saat itu, orang-orang Yahudi dianggap ngehina
orang-orang ras Arya di Jerman atau mungkin juga mereka ngerasa terintimidasi sama
‘keunggulan alami’ orang Yahudi. Akhirnya,
Adolf Hitler, sang pemimpin ras Arya, ngebuat kredo sekaligus ‘scientific
evidence’ buat ngeyakinin massa-nya
kalau ras Arya itu ras terhebat di dunia dan nggak pantas buat dihina ataupun
ngerasa terhina. Jadi, semua orang Yahudi di Jerman harus dibunuh demi nunjukin
ke-superioran ras Arya pada dunia di bawah kepemimpinan Hitler.
Memangnya apa sih itu 'budaya' kok manusia sampai ngejunjungnya tinggi banget? Bahkan
bakal terjadi pertengkaran dan pertumpahan darah kalau sampai ada yang
menyinggungnya. Kalau di benak kita budaya hanya lah sebatas warisan leluhur
berbentuk kesenian (e.g.
tarian-tarian, lagu-lagu tradisional, cerita-cerita rakyat), yang diturunin buat anak-cucu saja,
maka kita udah nggak up-to-date.
Secara umum, budaya adalah sebuah sistem
yang ngebentuk perilaku manusia berdasarkan nilai-nilai/norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Menurut ilmu antropologi, budaya diartikan sebagai
sebuah sistem komplek, meliputi proses-proses kognitif (e.g. pengetahuan, kepercayaan, pemikiran), serta proses-proses
praktis (e.g. seni, hukum, moral,
kebiasaan, gaya hidup), yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota dalam
sebuah masyarakat tertentu.
Jadi, nggak hanya cara bicara dan
berperilaku, tapi ideologi sebuah bangsa, yang merupakan hasil dari proses
berpikir manusia, pun juga dibentuk oleh budaya. Contohnya, Amerika Serikat
nggak ngawur dalam ngerumusin ide demokrasi liberal sebagai ideologi bangsa
mereka. Negeri Paman Sam itu pakai sistem demokarsi liberal karena mayoritas
rakyatnya ngenjunjung tinggi kebebasan manusia dalam segala hal, khususnya
kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan mengekspresikan
diri (freedom of expressions).
Dalam demokrasi Amerika, arus kebebasan
beropini dan berekspresi nggak kebendung bahkan ngelampauin sekat-sekat
kedudukan dan kasta manusia. Soalnya, dulu demokrasi liberal itu terlahir buat
nentang sistem monarki kerajaan Inggris, yang mau ngedominasi tanah Amerika
secara politis. Menurut mereka, manusia itu dilahirkan setara, jadi nggak
seharusnya ada istilah raja dan ratu di Amerika. Makanya, jadi Presiden Amerika
itu harus kebal saat ngadepin semua jenis kritikan, yang datang dari rakyatnya.
Selain itu, Amerika Serikat juga negara sekuler yang misahin urusan
pemerintahan dengan urusan agama. Jadi, jangan heran kalau kita bakalan
dianggap kurang beretika saat ngomongin agama orang lain di depan umum.
Para pendiri bangsa Indonesia sebenarnya
juga ngadopsi ide demokrasi Amerika saat nentuin ideologi bangsa kita. Namun,
para founding fathers kita nggak serta merta ngadopsi ide demokrasi,
yang lahir dari rahim Amerika Serikat itu, tanpa adanya proses akulturasi.
Mereka nambahin kata 'Pancasila' pada
kata 'demokrasi', sehingga ideologi
bangsa kita menjadi 'Demokrasi Pancasila'.
Dengan demikian, sistem negara kita tetap bisa sesuai dengan akar budaya bangsa
Indonesia. Jadi, nggak heran kalau guyonan Zaskia Gotik, yang melesetin goyang
itik-nya kayak burung Garuda Pancasila di salah satu TV nasional beberapa tahun
lalu, memicu kemarahan publik. Dia dianggap udah ngehina ideologi bangsa yang
sangat sakral, sehingga wajib dipidanakan.
Kebebasan berbicara dan berekspresi dalam
konteks demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Amerika. Kalau band pop-punk Amerika Serikat, Green Day, makin
laris manis dan fenomenal dengan lagu berjudul ‘American Idiot’, yang berisi
kritikan terbuka buat negara mereka sendiri, Zaskia Gotik justru dihujat dan
nggak laku karena pakai Garuda Pancasila sebagai bahan lelucon buat naikin
pamornya dalam sebuah acara komedi. Siapa sangka burung garuda, yang hanya
dianggapnya sebagai patung nggak bernyawa, justru hampir menyeretnya ke dalam
terali besi? Peristiwa itu mirip kayak kasus yang dialami oleh si Bambang dan Bu Dibyo. Hal yang dianggap biasa justru bisa ngebawa malapetaka
karena alasan gegar budaya, lho! Jadi, kita harus pandai-pandai nempatin diri,
ya!
Dulu, masyarakat dalam sebuah sistem
budaya hanya dibedain dari sudut pandang geografis saja. Dengan kata lain,
masyarakat berbudaya hanya didefinisiin sebagai orang-orang yang tinggal di
negara-negara tertentu (e.g. Amerika,
Australia, Indonesia) atau daerah-daerah tertentu (e.g. Jawa, Madura, Papua, Bali, Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi) karena mereka punya
keunikan budaya tersendiri secara geografis.
Di era moderen ini, pengertian budaya
makin berkembang ngelampauin batas-batas geografis. Menurut definisi
kontemporer, masyarakat berbudaya udah dianggap sebagai komunitas atau
sekumpulan orang yang punya kesamaan dalam hal minat, ideologi, orientasi seksual, dsb (e.g. komunitas anak gaul, LGBT, punk, gothic, cyber community, dsb). Komunitas-komunitas
tersebut udah ngebentuk sebuah budaya baru yang beda banget dari budaya yang
udah lebih dulu ada di masyarakat. Nggak heran kalau sekarang makin marak
istilah budaya anak gaul, yang
identik dengan bahasa 'elo-gue' khas remaja ibukota,
bahasa Walikan 'ayas-umak' khas anak muda Kota Malang, budaya transgender (waria)
yang terkenal dengan slang
komunitas-nya (e.g. akika, eike, cucok, lekong), budaya
internet dengan singkatan-singkatan uniknya (e.g.
LOL, asl, brb), atau komunitas anak kecil dengan gaya bahasa cadelnya (e.g. ciyus? enelan?)
Sayangnya, nilai-nilai atau norma-norma
budaya sering kali secara nggak sengaja disalahartiin saat benar-benar diaplikasiin
dalam praktek-praktek sosial tertentu. Soalnya, kepengaruh sama latar belakang
budaya kita sendiri saat nerjemahin suatu nilai/norma budaya orang lain.
Makanya, nggak jarang terjadi culture-shock
saat kita berkomunikasi lintas budaya.
Oleh karena itu, kita seharusnya ngadopsi
perspektif relativitas (relativist perspectives) saat nerjemahin budaya
sebagai pemahaman umum, bukan hanya mentingin ego kita sendiri buat ngehasilin
pemahaman pribadi, biar nggak terjadi kesalahpahaman. Dalam sebuah interaksi
sosial yang sehat dan harmonis, seharusnya memang nggak boleh ada unsur
narsisme yang hanya nekanin dominasi subyek berinisal 'aku' atau 'kamu', karena
yang ada adalah unsur simbiosis mutualisme di antara ‘aku +
kamu = kita'.
Jadi, dalam blog Culturelitzer ini, aku pengen nyeritain pengalaman unikku saat
berkomunikasi lintas budaya sama orang-orang berlatar budaya berbeda (e.g. Amerika, Australia, Belanda, Jerman, New Zealand, Cina, dsb) dalam bentuk diary refleksi sekaligus berbentuk
cerpen non-fiksi maupun fiksi. Dengan begitu, aku bisa menginspirasi umat
manusia, khususnya orang Indonesia, biar nggak ngalamin gegar budaya (culture-shock)
saat komunikasi sama orang asing.
Melalui metode story-telling tersebut
di atas, aku pengen ngejadiin blog Culturelitzer-ku ini sebagai media digital
buat ngepromosiin perdamaian dan toleransi pada plularisme budaya yang ada di
bumi ini. Senada dengan visi dan misi pemimpin dunia sekaliber Winston
Churchill, yang berambisi ngepromosiin permadaian dunia melalui pendirian
organisasi PBB.
Dalam blog Culturelitzer ini, aku sengaja pakai bahasa colloquial (bahasa populer) biar orang Indonesia, yang mayoritas
bukan masyarakat ilmiah-akademis, bisa lebih mudah mahamin
sekaligus ngedalemin esensi pesan moral dari setiap kejadian unik, yang sering
terjadi dalam komunikasi lintas budaya. Dengan begitu, mereka bisa lebih gampang buat nginternalisasi sekaligus mpraktekin toleransi di dunia
nyata. Habisnya, kalau dilaporin dalam bentuk penelitian ilmiah, yang menurutku
dipenuhi banyak konsep kaku, malah bisa bikin masyarakat awam gagal paham atau
bahkan bisa ngebuat kepala mereka ngilu-ngilu.
Filosofi dibalik nama Culturelitzer sendiri berkaitan sama ketertarikanku pada sastra dan
budaya. Secara morfologis, kata Culturelitzer
terbentuk melalui proses blending dan affixation antara kata Culture (budaya) dengan literature (sastra) ditambahi infix -z (inisial namaku + penanda
era milenial generasi z) sekaligus
suffix -er (pelaku aktif/the
doer). Dengan mengusung nama Culturelitzer,
aku harap aku bisa jadi agen perdamaian budaya antar bangsa di era Generasi Z
ini melalui media digital story-telling.
Soalnya, di jaman milenial ini makin banyak terlahir budaya baru, yang dianggap
kontroversial, ambigu, dan bahkan nggak jarang bisa nimbulin polemik di
masyarakat.
Genetika platform Culturelitzer ini sebenarnya terbentuk setelah aku
mencuil sebagian fragmen dari ide Freedom
Writers Diary, yang dinisiasi oleh Erin Gruwell, seorang guru Bahasa
Inggris revolusioner asal Amerika Serikat. Menurut Erin, menulis refleksi
kehidupan dalam bentuk diary bisa
ngembangin karakter manusia ke arah yang jauh lebih baik. Nggak heran kalau
inovasi metode pengajaran Erin itu berhasil ngelurusin prasangka budaya di
antara murid-muridnya, sampai pada akhirnya dipatenkan oleh salah satu negara
bagian di Amerika Serikat. Nulis diary juga
jadi kebiasaan tokoh-tokoh dunia berpengaruh semacam Abraham Lincoln dan Oprah
Winfrey, lho!
Memangnya seperti apa sih gebrakan Erin
Gruwell dalam ngepromosiin toleransi? Dalam hal ini, Erin mampu ngelurusin mindset
sekelompok murid berandalan rasis di kelasnya. Ceritanya, murid-muridnya
itu nggak mau duduk sama murid lain yang beda ras saat di sekolah karena secara
psikologis mereka merasa nggak aman. Soalnya, mereka sedang kejebak atau bahkan
ikut terlibat dalam konflik antar ras yang terjadi di sekitar lingkungan rumah
mereka.
Mindset murid-murid Erin itu dipengaruhi oleh kredo, yang lahir dari sejarah isu rasisme di Amerika Serikat yang
berbunyi, “If you’re white, you’re right. If you’re brown, you’re stick
around. If you’re black, you’re back.” Sejarahnya, orang kulit putih
(Kaukasian) khususnya di bagian selatan merasa superior dalam segala hal. Orang
kulit coklat (Hispanik) hanya dianggap makhluk kelas dua, yang stagnan alias
hanya bisa jalan di tempat. Sedangkan orang kulit hitam (Afro-Amerika) dianggap
sebagai makhluk berkasta rendah yang hanya pantas jadi budak. Nggak heran kalau
prasangka ras di kelas Erin itu juga sering memicu tawuran dan berpengaruh
besar pada penurunan prestasi akademik murid-muridnya.
Trus gimana sih strategi Erin buat
ngehapus prasangka budaya di antara murid-muridnya itu? Caranya, Erin nyuruh
mereka baca buku harian berjudul ‘The Diary of a Young Girl’ yang ditulis oleh
Anne Frank, seorang gadis Yahudi yang berada dalam kejaran Nazi Jerman. Kisah
nyata karya Anne Frank itu telah menginspirasi dunia agar lebih bisa bersikap
manusiawi pada sesama apapun golongan rasnya. Makanya, Erin juga nugasin murid-muridnya
itu buat nulis diary refleksi kayak yang dilakuin sama si Anne Frank. Alhasil, dia berhasil ngerubah mindset para
murid rasis itu sehingga mereka mau ngehargain perbedaan melalui proyek yang
dia beri nama ‘The Freedom Writers Diary’. Tugas menulis diary itu
juga akhirnya berhasil ningkatin proses kognitif murid-muridnya di kelas. Nggak
heran kalau sekarang mereka jadi sekumpulan anak pintar bermasa depan cerah.
Penulisan refleksi kehidupan dalam diary memang disinyalir bisa ngetajemin
kemampuan kita buat ngebaca pola kehidupan, sehingga kita bisa lebih peka dan
cepat tanggap dalam nyelesain masalah hidup. Dan yang pasti, kita bakalan bisa
ngelihat fenomena sosial/politik/budaya dengan kacamata ber-spektrum pelangi,
bukan hanya hitam-putih. Dengan begitu, kita bisa jadi manusia yang kritis,
tapi tetap bisa bijaksana dalam menanggapi setiap fenomena yang terjadi di
bumi.
Aku harap blog komunikasi lintas budaya Culturelitzer,
yang berformat digital diary
sekaligus digital story-telling ini
bisa ngehasilin positive impact yang sama buat
meminimalisir terjadinya culture-shock
maupun cultural prejudice di
masyarakat seperti ‘The Diary of a Young Girl’ karya Anne Frank ataupun ‘The
Freedom Writers Diary’ yang dikompilasi oleh Erin Gruwell berdasarkan kisah
nyata murid-muridnya.
Itulah proses pembentukan genetika Culturelitzer. Semoga kisah-kisah
komunikasi lintas budaya dalam blog ini bisa bermanfaat bagi diriku sendiri sebagai
seorang life-long learner sekaligus
bagi orang lain sebagai makhluk sosial yang berbudaya, baik secara teoritis
ataupun praktis. Selamat menikmati dan bersiaplah jadi agen perdamaian di bumi! 🎁💐🎉🎨
References:
Bowie, H., Kyle, M., & Manns, H.
(2014). Communication Across Cultures: Mutual Understanding in a Global World.
Melbourne: Cambridge University Press.
Burridge, K., Stebbin, T.N. (2016). For the
Love of a Language: An Introduction to Linguistics. Melbourne: Cambridge
University Press.
Gruwell, E., et. al. (1999). The Freedom Writers Diary: How a Teacher and 150 Teens Used Writing to Change Themselves and the World Around Them. New York: Broadway Books.
Husna, Z. (2017). Cross-Cultural Pragmatics: Refusal Strategies in English Used by Indonesian and Australian Postgraduate Students at Australian Universities. Malang: SmArtz Media.
Best Regards,
Zuhria Zeffira (Zoe)