Jumat, 15 September 2023

GENETIKA CULTURELITZER ~ BLOG KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA KONTEMPORER ERA MILENIAL [PROLOG]

Written By: Zuhria Zeffira (Zoe)


  
 Ada peribahasa keren berbunyi “When in Rome, do as Romans!”  Dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut setara dengan peribahasa “Dimana langit dijunjung, disitu lah bumi dipijak.” Maksud harfiahnya adalah setiap manusia itu dianjurin buat bisa nyesuain diri dengan budaya di negara yang sedang mereka singgahi atau tempati. Biar nggak terjadi social madness alias kerusuhan sosial atau bahkan yang paling parah terjadi pertumpahan darah.

Kenapa yang jadi tolok ukur dari peribahasa di atas adalah bangsa Romawi? Mungkin, karena bangsa Romawi terkenal sebagai orang-orang kuat nan gagah perkasa yang nggak tertandingi, seperti dalam cerita legenda kepahlawanan prajurit Sparta, yang digambarin di film epik berjudul ‘300’. Ceritanya, Raja Persia pengen naklukin Roma dengan cara damai, tapi dia bakal ngerahin ±10.000 orang bala tentaranya jika Roma menolak tunduk. Menurut Leonidas, sang panglima perang Roma yang berharga diri tinggi dan nggak mau diperbudak bangsa lain, sikap Raja Persia itu terlalu arogan dan nggak tahu tata krama. Saking geramnya, Leonidas pun mampu ngehabisin ±10.000 tentara Persia hanya dengan ngerahin 300 orang prajurit terkuatnya saja, meskipun pada akhirnya sih dia kalah karena pengkhianatan rakyatnya sendiri.

Analoginya, kalau kita hidup di Roma, kita harus pakai cara orang Roma. Tentu saja, sebagai orang Indonesia yang terkenal dengan kelembutannya, kita nggak bakal bisa bertahan lama hidup di Roma kalau kita tetap kekeuh nggunain cara orang Indonesia. Begitu pula sebaliknya.

Salah satu contoh nyata kebenaran dari peribahasa di atas bisa kita telaah dari pengalaman nyata teman kuliahku yang bernama Bambang (bukan nama sebenarnya). Bambang adalah mahasiswa keturunan Indonesia, tapi dia lahir dan besar di Amerika Serikat. Nggak heran kalau Bahasa Inggris si Bambang ini fasih banget, persis kayak native-speaker meskipun nama dan wajahnya Jawa banget. Saat usia 18 tahun, dia berimigrasi ke Indonesia buat ngelanjutin kuliah S1.

Seperti tipikal orang Amerika, Bambang cenderung individualis dan nggak suka ngurusin hidup orang lain. Di lain pihak, banyak mahasiswa Indonesia yang justru penasaran banget sama agama yang dianut oleh si Bambang. Termasuk salah satu dosen bernama Bu Dibyo (bukan nama sebenarnya). Maklum, budaya orang Indonesia suka kepo (dibaca: knowing every particular object).

Suatu hari, Bambang sedang asyik ngobrol sama beberapa orang mahasiswa. Tiba-tiba, Bu Dibyo ikut nimbrung dalam obrolan para mahasiswa itu sambil bertanya, “What’s your religion, Bambang?” Beliau ngelemparin pertanyaan itu sambil tersenyum manis demi nunjukin keramahan khas orang Indonesia. Tampaknya, beliau tertarik dan penasaran banget sama si Bambang yang berwajah Jawa, tapi kalau ngomong aksen Bahasa Inggris-nya persis banget kayak Tom Cruise.

Di luar dugaan, ternyata jawaban si Bambang justru bikin geger seluruh civitas akademika. Waktu itu, dia dengan santai ngejawab “Don’t ask! Don’t tell!” Jawaban tersebut setara dengan kalimat “Bukan urusanmu!” Anehnya, mimik wajah Bambang terlihat polos tanpa ada guratan rasa sungkan sedikit pun saat kalimat tersebut meluncur dari bibirnya.

Bagi orang Amerika seperti Bambang, pertanyaan tentang agama itu tabu dan nggak pantas ditanyain di depan umum. Namun, dia lupa kalau sekarang sedang berada di Indonesia, sebuah negara yang ngejunjung tinggi sopan santun, khususnya pada orang yang lebih tua. Tampaknya, dia memang lebih suka pakai American ways meskipun sedang berada di nusantara, tanah keramat peninggalan raja-raja Jawa, yang ngewarisin budaya membungkuk-bungkukkan badan kepada orang yang berkasta sosial tinggi.

Mendengar respon blak-blakkan itu, senyuman ramah Bu Dibyo, yang tadinya semanis madu murni, kini mendadak terasa sepahit kopi. Bagi Bu Dibyo, yang udah paruh baya, jawaban si Bambang itu nggak hanya nggak sopan, tapi juga berhasil ngeruntuhin harga dirinya sebagai seorang dosen di depan para mahasiswa. Soalnya, beberapa mahasiswa terlihat tertawa cekikian ngelihat ulah Bambang si imigran Amerika

Saking malunya, amarah Bu Dibyo pun meledak bagai gunung vulkanik yang nggak bisa kebendung lagi lahar panasnya. Alhasil, semua mahasiswa di kelas pun kena imbas dari letupan amarah beliau. Hari itu, beliau memberi semua mahasiswa tugas kuliah yang sulit banget sebagai hukuman atas ketidaksopanan si Bambang terhadap beliau. Ibarat pepatah, “Akibat nila setitik, rusak susu sebelangga.” Akibat kesalahan satu orang, semua mahasiswa kena getahnya. Tampaknya, Bu Dibyo nggak tahu kalau si Bambang itu orang Amerika. Maklum, nggak ada sedikit pun potongan bule Hollywood ataupun bule Jalan Jaksa di tampangnya.

Nggak heran kalau gegar budaya (culture-shock) yang terjadi di antara Bambang dan Bu Dibyo itu akhirnya ngebuat semua mahasiswa geregetan. Gimana enggak sebal? Banyak tugas kuliah yang deadline-nya mepet, tapi mereka masih harus berjibaku ngerjain tugas hukuman dari Bu Dibyo yang susahnya bikin pusing tujuh keliling.

Sebenarnya, kami pengen ngejelasin ke beliau kalau si Bambang sejatinya adalah orang Amerika, biar kami bisa dapat remisi hukuman perdata di kelas beliau. Menurut kami, Bambang hanya gagal mahamin etiket, yang seharusnya dipraktekin sama mahasiswa Indonesia, saat interaksi sama dosen di ranah formal. Namun, kami ngurungin niat kami itu karena Bu Dibyo udah terlanjur marah-marah. Alhasil, kami pun hanya bisa pasrah nerima hukuman dari beliau kayak sekumpulan narapidana intelektual.

Merasa terbenani dengan tugas yang menggunung, kami pun nggak tahan buat nggak nyumpah serapah si Bambang dalam hati. Anehnya, ekspresi wajah si Bambang tetap saja terlihat datar tanpa rasa bersalah. Sejak saat itu, kami ngejuluki Bambang sebagai si 'Imigran Amrik'. Kok bisa? Ya jelas karena si Bambang nggak mau berakulturasi sama budaya Indonesia meskipun udah jadi orang Indonesia. Dia kayak imigran yang hanya numpang tinggal di tanah Jawa, tanpa mau sedikit pun berkompromi sama kebiasaan orang Indonesia yang memang suka kepo.

Secara ilmiah, otak manusia memang cenderung pakai mental konsep yang berbeda-beda saat nginterpretasi sebuah praktek budaya dalam komunikasi lintas budaya. Dengan kata lain, setiap orang berusaha nerjemahin suatu budaya yang nggak dia kenal dengan cara mengkonvensi budaya asing itu ke dalam budaya yang lebih familiar dengan dirinya. Sebagaian besar proses konvensi ini terjadi secara alami karena budaya bawaan (sejak lahir) itu telah mengakar kuat dalam diri tiap individu.

Dalam hal ini, Bambang nganggep kalau pertanyaan Bu Dibyo lah yang nggak sopan karena topik tentang agama seseorang memang nggak pantas buat diobrolin di depan umum menurut budaya Amerika. Selain itu, relasi dosen-mahasiswa di Amerika memang cenderung kasual banget seperti teman sendiri. Nggak heran kalau si Bambang nggak ngerasa bersalah saat ngerespon Bu Dibyo dengan kalimat “Don’t ask! Don’t tell!” yang terdengar sangat kasar di telinga orang Indonesia.

Di lain pihak, Bu Dibyo nganggep si Bambang lah yang nggak tahu tata krama karena sikapnya nggak sesuai sama kebiasaan umum di Indonesia. Menurut mental konsep budaya dalam otak Bu Dibyo, pertanyaan tentang agama seseorang itu udah jadi hal yang wajar di Indonesia. Buktinya, kolom agama tercantum di KTP orang Indonesia, meskipun hal itu nggak dipraktekin di negara-negara lain. Selain itu, relasi dosen-mahasiswa di Indonesia cenderung lebih kekeluargaan kayak orang tua dan anak. Jadi, mahasiswa harusnya bisa milih redaksi kata yang sopan saat berniat 'nolak' sesuatu dari dosen paruh baya.

Dari contoh pengalaman gegar budaya di atas, penyesuaian diri memang sangatlah krusial saat kita bersinggungan sama budaya asing. Dalam hal ini, budaya merupakan 'hal keramat' yang dijunjung oleh umat manusia dalam kehidupan. Nggak heran kalau cara bertindak atau bicara kita nggak sesuai dengan nilai budaya di mana kita berada, baik secara sengaja maupun nggak disengaja, maka kita bakalan dianggap nyinggung orang-orang yang ada di sekitar kita.

Sebenarnya, tragedi berdarah genosida di Jerman, yang tercatat dalam sejarah dunia, awalnya juga disebabin oleh peristiwa gegar budaya, lho! Saat itu, orang-orang Yahudi dianggap ngehina orang-orang ras Arya di Jerman atau mungkin juga mereka ngerasa terintimidasi sama ‘keunggulan alami’ orang Yahudi. Akhirnya, Adolf Hitler, sang pemimpin ras Arya, ngebuat kredo sekaligus ‘scientific evidence’ buat ngeyakinin massa-nya kalau ras Arya itu ras terhebat di dunia dan nggak pantas buat dihina ataupun ngerasa terhina. Jadi, semua orang Yahudi di Jerman harus dibunuh demi nunjukin ke-superioran ras Arya pada dunia di bawah kepemimpinan Hitler.

Memangnya apa sih itu 'budaya' kok manusia sampai ngejunjungnya tinggi banget? Bahkan bakal terjadi pertengkaran dan pertumpahan darah kalau sampai ada yang menyinggungnya. Kalau di benak kita budaya hanya lah sebatas warisan leluhur berbentuk kesenian (e.g. tarian-tarian, lagu-lagu tradisional, cerita-cerita rakyat), yang diturunin buat anak-cucu saja, maka kita udah nggak up-to-date.

Secara umum, budaya adalah sebuah sistem yang ngebentuk perilaku manusia berdasarkan nilai-nilai/norma-norma yang berlaku di masyarakat. Menurut ilmu antropologi, budaya diartikan sebagai sebuah sistem komplek, meliputi proses-proses kognitif (e.g. pengetahuan, kepercayaan, pemikiran), serta proses-proses praktis (e.g. seni, hukum, moral, kebiasaan, gaya hidup), yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota dalam sebuah masyarakat tertentu.

Jadi, nggak hanya cara bicara dan berperilaku, tapi ideologi sebuah bangsa, yang merupakan hasil dari proses berpikir manusia, pun juga dibentuk oleh budaya. Contohnya, Amerika Serikat nggak ngawur dalam ngerumusin ide demokrasi liberal sebagai ideologi bangsa mereka. Negeri Paman Sam itu pakai sistem demokarsi liberal karena mayoritas rakyatnya ngenjunjung tinggi kebebasan manusia dalam segala hal, khususnya kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan mengekspresikan diri (freedom of expressions).

Dalam demokrasi Amerika, arus kebebasan beropini dan berekspresi nggak kebendung bahkan ngelampauin sekat-sekat kedudukan dan kasta manusia. Soalnya, dulu demokrasi liberal itu terlahir buat nentang sistem monarki kerajaan Inggris, yang mau ngedominasi tanah Amerika secara politis. Menurut mereka, manusia itu dilahirkan setara, jadi nggak seharusnya ada istilah raja dan ratu di Amerika. Makanya, jadi Presiden Amerika itu harus kebal saat ngadepin semua jenis kritikan, yang datang dari rakyatnya. Selain itu, Amerika Serikat juga negara sekuler yang misahin urusan pemerintahan dengan urusan agama. Jadi, jangan heran kalau kita bakalan dianggap kurang beretika saat ngomongin agama orang lain di depan umum.

Para pendiri bangsa Indonesia sebenarnya juga ngadopsi ide demokrasi Amerika saat nentuin ideologi bangsa kita. Namun, para founding fathers kita nggak serta merta ngadopsi ide demokrasi, yang lahir dari rahim Amerika Serikat itu, tanpa adanya proses akulturasi. Mereka nambahin kata 'Pancasila' pada kata 'demokrasi', sehingga ideologi bangsa kita menjadi 'Demokrasi Pancasila'. Dengan demikian, sistem negara kita tetap bisa sesuai dengan akar budaya bangsa Indonesia. Jadi, nggak heran kalau guyonan Zaskia Gotik, yang melesetin goyang itik-nya kayak burung Garuda Pancasila di salah satu TV nasional beberapa tahun lalu, memicu kemarahan publik. Dia dianggap udah ngehina ideologi bangsa yang sangat sakral, sehingga wajib dipidanakan.

Kebebasan berbicara dan berekspresi dalam konteks demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Amerika. Kalau band pop-punk Amerika Serikat, Green Day, makin laris manis dan fenomenal dengan lagu berjudul ‘American Idiot’, yang berisi kritikan terbuka buat negara mereka sendiri, Zaskia Gotik justru dihujat dan nggak laku karena pakai Garuda Pancasila sebagai bahan lelucon buat naikin pamornya dalam sebuah acara komedi. Siapa sangka burung garuda, yang hanya dianggapnya sebagai patung nggak bernyawa, justru hampir menyeretnya ke dalam terali besi? Peristiwa itu mirip kayak kasus yang dialami oleh si Bambang dan Bu Dibyo. Hal yang dianggap biasa justru bisa ngebawa malapetaka karena alasan gegar budaya, lho! Jadi, kita harus pandai-pandai nempatin diri, ya!

Dulu, masyarakat dalam sebuah sistem budaya hanya dibedain dari sudut pandang geografis saja. Dengan kata lain, masyarakat berbudaya hanya didefinisiin sebagai orang-orang yang tinggal di negara-negara tertentu (e.g. Amerika, Australia, Indonesia) atau daerah-daerah tertentu (e.g. Jawa, Madura, Papua, Bali, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi) karena mereka punya keunikan budaya tersendiri secara geografis.

Di era moderen ini, pengertian budaya makin berkembang ngelampauin batas-batas geografis. Menurut definisi kontemporer, masyarakat berbudaya udah dianggap sebagai komunitas atau sekumpulan orang yang punya kesamaan dalam hal minat, ideologi, orientasi seksual, dsb (e.g. komunitas anak gaul, LGBT, punk, gothic, cyber community, dsb). Komunitas-komunitas tersebut udah ngebentuk sebuah budaya baru yang beda banget dari budaya yang udah lebih dulu ada di masyarakat. Nggak heran kalau sekarang makin marak istilah budaya anak gaul, yang identik dengan bahasa 'elo-gue' khas remaja ibukota, bahasa Walikan 'ayas-umak' khas anak muda Kota Malang, budaya transgender (waria) yang terkenal dengan slang komunitas-nya (e.g. akika, eike, cucok, lekong), budaya internet dengan singkatan-singkatan uniknya (e.g. LOL, asl, brb), atau komunitas anak kecil dengan gaya bahasa cadelnya (e.g. ciyus? enelan?)

Sayangnya, nilai-nilai atau norma-norma budaya sering kali secara nggak sengaja disalahartiin saat benar-benar diaplikasiin dalam praktek-praktek sosial tertentu. Soalnya, kepengaruh sama latar belakang budaya kita sendiri saat nerjemahin suatu nilai/norma budaya orang lain. Makanya, nggak jarang terjadi culture-shock saat kita berkomunikasi lintas budaya.

Oleh karena itu, kita seharusnya ngadopsi perspektif relativitas (relativist perspectives) saat nerjemahin budaya sebagai pemahaman umum, bukan hanya mentingin ego kita sendiri buat ngehasilin pemahaman pribadi, biar nggak terjadi kesalahpahaman. Dalam sebuah interaksi sosial yang sehat dan harmonis, seharusnya memang nggak boleh ada unsur narsisme yang hanya nekanin dominasi subyek berinisal 'aku' atau 'kamu', karena yang ada adalah unsur simbiosis mutualisme di antara  ‘aku + kamu = kita'.

Jadi, dalam blog Culturelitzer ini, aku pengen nyeritain pengalaman unikku saat berkomunikasi lintas budaya sama orang-orang berlatar budaya berbeda (e.g. Amerika, Australia, Belanda, Jerman, New Zealand, Cina, dsb) dalam bentuk diary refleksi sekaligus berbentuk cerpen non-fiksi maupun fiksi. Dengan begitu, aku bisa menginspirasi umat manusia, khususnya orang Indonesia, biar nggak ngalamin gegar budaya (culture-shock) saat komunikasi sama orang asing.

Melalui metode story-telling tersebut di atas, aku pengen ngejadiin blog Culturelitzer-ku ini sebagai media digital buat ngepromosiin perdamaian dan toleransi pada plularisme budaya yang ada di bumi ini. Senada dengan visi dan misi pemimpin dunia sekaliber Winston Churchill, yang berambisi ngepromosiin permadaian dunia melalui pendirian organisasi PBB.

Dalam blog Culturelitzer ini, aku sengaja pakai bahasa colloquial (bahasa populer) biar orang Indonesia, yang mayoritas bukan masyarakat ilmiah-akademis, bisa lebih mudah mahamin sekaligus ngedalemin esensi pesan moral dari setiap kejadian unik, yang sering terjadi dalam komunikasi lintas budaya. Dengan begitu, mereka bisa lebih gampang buat nginternalisasi sekaligus mpraktekin toleransi di dunia nyata. Habisnya, kalau dilaporin dalam bentuk penelitian ilmiah, yang menurutku dipenuhi banyak konsep kaku, malah bisa bikin masyarakat awam gagal paham atau bahkan bisa ngebuat kepala mereka ngilu-ngilu.

Filosofi dibalik nama Culturelitzer sendiri berkaitan sama ketertarikanku pada sastra dan budaya. Secara morfologis, kata Culturelitzer terbentuk melalui proses blending dan affixation antara kata Culture (budaya) dengan literature (sastra) ditambahi infix -z (inisial namaku + penanda era milenial generasi z) sekaligus suffix -er (pelaku aktif/the doer). Dengan mengusung nama Culturelitzer, aku harap aku bisa jadi agen perdamaian budaya antar bangsa di era Generasi Z ini melalui media digital story-telling. Soalnya, di jaman milenial ini makin banyak terlahir budaya baru, yang dianggap kontroversial, ambigu, dan bahkan nggak jarang bisa nimbulin polemik di masyarakat.

Genetika platform Culturelitzer ini sebenarnya terbentuk setelah aku mencuil sebagian fragmen dari ide Freedom Writers Diary, yang dinisiasi oleh Erin Gruwell, seorang guru Bahasa Inggris revolusioner asal Amerika Serikat. Menurut Erin, menulis refleksi kehidupan dalam bentuk diary bisa ngembangin karakter manusia ke arah yang jauh lebih baik. Nggak heran kalau inovasi metode pengajaran Erin itu berhasil ngelurusin prasangka budaya di antara murid-muridnya, sampai pada akhirnya dipatenkan oleh salah satu negara bagian di Amerika Serikat. Nulis diary juga jadi kebiasaan tokoh-tokoh dunia berpengaruh semacam Abraham Lincoln dan Oprah Winfrey, lho!

Memangnya seperti apa sih gebrakan Erin Gruwell dalam ngepromosiin toleransi? Dalam hal ini, Erin mampu ngelurusin mindset sekelompok murid berandalan rasis di kelasnya. Ceritanya, murid-muridnya itu nggak mau duduk sama murid lain yang beda ras saat di sekolah karena secara psikologis mereka merasa nggak aman. Soalnya, mereka sedang kejebak atau bahkan ikut terlibat dalam konflik antar ras yang terjadi di sekitar lingkungan rumah mereka.

Mindset murid-murid Erin itu dipengaruhi oleh kredo, yang lahir dari sejarah isu rasisme di Amerika Serikat yang berbunyi, “If you’re white, you’re right. If you’re brown, you’re stick around. If you’re black, you’re back.” Sejarahnya, orang kulit putih (Kaukasian) khususnya di bagian selatan merasa superior dalam segala hal. Orang kulit coklat (Hispanik) hanya dianggap makhluk kelas dua, yang stagnan alias hanya bisa jalan di tempat. Sedangkan orang kulit hitam (Afro-Amerika) dianggap sebagai makhluk berkasta rendah yang hanya pantas jadi budak. Nggak heran kalau prasangka ras di kelas Erin itu juga sering memicu tawuran dan berpengaruh besar pada penurunan prestasi akademik murid-muridnya.

Trus gimana sih strategi Erin buat ngehapus prasangka budaya di antara murid-muridnya itu? Caranya, Erin nyuruh mereka baca buku harian berjudul ‘The Diary of a Young Girl’ yang ditulis oleh Anne Frank, seorang gadis Yahudi yang berada dalam kejaran Nazi Jerman. Kisah nyata karya Anne Frank itu telah menginspirasi dunia agar lebih bisa bersikap manusiawi pada sesama apapun golongan rasnya. Makanya, Erin juga nugasin murid-muridnya itu buat nulis diary refleksi kayak yang dilakuin sama si Anne Frank. Alhasil, dia berhasil ngerubah mindset para murid rasis itu sehingga mereka mau ngehargain perbedaan melalui proyek yang dia beri nama ‘The Freedom Writers Diary’. Tugas menulis diary itu juga akhirnya berhasil ningkatin proses kognitif murid-muridnya di kelas. Nggak heran kalau sekarang mereka jadi sekumpulan anak pintar bermasa depan cerah.

Penulisan refleksi kehidupan dalam diary memang disinyalir bisa ngetajemin kemampuan kita buat ngebaca pola kehidupan, sehingga kita bisa lebih peka dan cepat tanggap dalam nyelesain masalah hidup. Dan yang pasti, kita bakalan bisa ngelihat fenomena sosial/politik/budaya dengan kacamata ber-spektrum pelangi, bukan hanya hitam-putih. Dengan begitu, kita bisa jadi manusia yang kritis, tapi tetap bisa bijaksana dalam menanggapi setiap fenomena yang terjadi di bumi.

Aku harap blog komunikasi lintas budaya Culturelitzer, yang berformat digital diary sekaligus digital story-telling ini bisa ngehasilin positive impact yang sama buat meminimalisir terjadinya culture-shock maupun cultural prejudice di masyarakat seperti ‘The Diary of a Young Girl’ karya Anne Frank ataupun ‘The Freedom Writers Diary’ yang dikompilasi oleh Erin Gruwell berdasarkan kisah nyata murid-muridnya.

Itulah proses pembentukan genetika Culturelitzer. Semoga kisah-kisah komunikasi lintas budaya dalam blog ini bisa bermanfaat bagi diriku sendiri sebagai seorang life-long learner sekaligus bagi orang lain sebagai makhluk sosial yang berbudaya, baik secara teoritis ataupun praktis. Selamat menikmati dan bersiaplah jadi agen perdamaian di bumi! 🎁💐🎉🎨


References:

Bowie, H., Kyle, M., & Manns, H. (2014). Communication Across Cultures: Mutual Understanding in a Global World. Melbourne: Cambridge University Press. 

Burridge, K., Stebbin, T.N. (2016). For the Love of a Language: An Introduction to Linguistics. Melbourne: Cambridge University Press.

Gruwell, E., et. al. (1999). The Freedom Writers Diary: How a Teacher and 150 Teens Used Writing to Change Themselves and the World Around Them. New York: Broadway Books.

Husna, Z. (2017). Cross-Cultural Pragmatics: Refusal Strategies in English Used by Indonesian and Australian Postgraduate Students at Australian Universities. Malang: SmArtz Media.


Best Regards,



Zuhria Zeffira (Zoe)

THE FOUNDING LADY OF CULTURELITZER [MY NEW PROFILE]

Written By: Zuhria Zeffira (Zoe)


  
 Hi, Culturelitzers! Pasti banyak dari kalian yang belum kenal sama identitas blogger misterius keren, yang sembunyi dibalik media digital beridentitas Culturelitzer ini kan? 👧

Mungkin yang udah kenal atau yang udah lama stalking dan jadi subscriber tetap blog ini penasaran kok blog yang dulunya bernama Zealous Zoe ini tiba-tiba menjelma jadi Culturelitzer sih setelah sekian lama ngilang dari peradaban dunia digital? 💢

Pasti para stalkers dan subscribers blog-ku ngira kalau aku habis dapat 'wangsit' alias 'reinassance' setelah sekian lama diculik sama alien Amerika se-ganteng dan se-macho Alex Pettyfer di film sci-fi berjudul 'I Am Number Four', sehingga terbesit ide di benakku buat ngelakuin revolusi besar-besaran pada konten blog-ku, yang dulunya 'ndeso bin norak' ini. 😎 

Eitts, sebelum nyebarin gosip macem-macem kayak paparazi Hollywood, yang pada heboh di jalanan Los Angeles, demi mengorek kabar terbaru dari kembaran Avril Lavigne sepertiku ini, mending kalian simak dulu deh perkenalan sekaligus klarifikasi lengkapku berikut ini. Pasti kalian semua nggak tahu kan keunikan dari profil terbaruku? So, check this out! 👇

Well, nama asliku Zuhria Husna. Tapi, dalam dunia penulisan kreatif, aku putusin buat pakai nama pena Zuhria Zeffira. Selain terdengar jauh lebih artistik, berima, dan universal, nama pena tersebut juga jauh lebih filosofis dari segi makna. 💟

Nama 'Zuhria' berasal dari bahasa Arab, yang secara literal, berarti 'Vas Bunga'. Dalam hal ini, 'Vas Bunga' identik dengan keindahan karena berfungsi sebagai seni dekorasi. Esensinya sama dengan karya sastra, salah satu produk budaya manusia, yang berfungsi sebagai penyentuh jiwa manusia melalui keindahan kata-kata dalam bentuk puisi dan prosa bertajuk humanisme ataupun naturalisme. 💐

Melalui sastra, para sastrawan kayak aku ini pengen ngerubah dunia jadi tempat yang jauh lebih indah dan ramah buat dihuni oleh semua umat manusia tanpa mandang suku, ras, budaya, agama, kebangsaan, jender, maupun orientasi seksual tertentu. Biar nggak ada lagi yang namanya diktator, rasisme, perbudakan, pengrusakan alam, perang, ataupun aksi terorisme di bumi ini karena di langitnya telah terlukis keindahan warna-warni spektrum pelangi. 🎨

Sementara itu, nama 'Zeffira' berasal dari Bahasa Inggris 'Zephyr', yang secara harfiah, berarti 'angin' menurut hasil terjemahanku pada lirik lagu 'Zephyr Song' karya band rock gaek kenamaan Amerika, Red Hot Chilly Pepper. Menurutku, sifat angin itu ibaratnya seperti keindahan karya sastra, yang secara abstrak nggak bisa dilihat mata, tapi esensi pesan moralnya bisa dirasakan oleh hati dan jiwa manusia yang ngenikmatinya. Oleh karena itu, nama pena Zuhria Zeffira cocok buatku yang seorang creative writer. 👼

Dalam pergaulan internasional maupun dunia pendidikan Bahasa Inggris, aku jauh lebih suka dipanggil dengan nama Amerika-ku ~ Zoe (dibaca: /Zoui/). Bukan berarti aku nggak bangga sama nama asliku. Aku pakai nama Zoe karena dulu dosen dan teman Amerika-ku sering lupa atau keseleo lidahnya saat ngucapin nama 'Zuhria' sehingga berbunyi seperti kata 'Rihanna'. Itu terjadi bukan karena disengaja, tapi secara fonologis Bahasa Inggris dan Bahasa Arab memang punya speech sound yang beda banget (e.g. huruf alif dibaca /ei/, /i:/, atau /ai/, dsb). Jadi, jangan kaget atau salah paham ya kalau orang Amerika sering kesulitan ngucapin nama Arab. 😃

Menurutku, nama Rihanna hasil kesalahan eja tersebut di atas identik dengan sosok artis Amerika yang seksi dan sensual. Jadi, nama Rihanna itu nggak cocok banget sama sosokku, yang berkarakter tomboi bin enerjetik kayak Avril Lavigne, tapi berhati lembut kayak sosok mendiang istri Pangeran Charles, si Lady Diana ini. Oleh karena itu, aku pilih nama Zoe, yang secara literal, huruf depannya sama dengan nama asliku, sementara secara filosofis artinya sesuai dengan karakterku. 💃

'Zoe' adalah nama Inggris-Amerika yang berasal dari Bahasa Latin bermakna 'Life (Kehidupan)'. Bagiku, hidup itu bakalan makin lebih hidup kalau kita mau ngepompa energi jiwa kita semaksimal mungkin saat ngejalanin kehidupan yang penuh liku terjal kayak labirin di film 'The Maze Runners' ini. Dengan nama Zoe, aku juga berharap orang-orang bule nggak lagi lupa atau keseleo lidahnya saat ngeja namaku, sementara murid/mahasiswaku di kelas/matakuliah Bahasa Inggris, yang aku ajar, bisa mengenal salah satu nama yang sengaja aku impor secara gratisan dari English-speaking countries itu. 😊

Aku lahir dan besar di Kota Apel, Malang, yang menurutku, sekeren The Big Apple, New York, Amerika. Kecintaanku pada civil right movement, yang aku pelajari dari matakuliah American Studies selama kuliah di jurusan Sastra Inggris, telah sukses ngerevolusi diriku jadi seorang wanita demokratis bermental first lady sekelas Michelle Obama, tapi tetap luwes dan jago ngelucu kayak Amanda Bynes. Pelawak jalanan juga bisa seelegan ratu kerajaan monarki absolut dong kalau substansi materinya cerdas dan bermutu. 👰

Selain nulis, aku juga demen nge-desain grafis pakai aplikasi Corel Draw. Nggak heran kalau paduan desain warna, kata, dan objek gambarku dalam weblog ini ngerefleksiin idealismeku banget sebagai perempuan era milenial semacam sosok Elle Wood, si lawyer cerdas nan modis penyuka warna pink, yang getol banget ngebela hak-hak perempuan sekaligus binatang di film 'Legally Blonde 1 & 2' 💟. Jadi, kalau mau ngado aku, jangan lupa sesuain kado-nya sama desain dan tema blog-ku ini, ya! By the way, ultahku tanggal 16 April, lho! Kutunggu ya kadonya ... 🎁 (maksa nih ceritanya 😂).

Aku juga suka sama yang namanya pop-culture (e.g. musik, novel, film, dsb), khususnya yang diimpor dari Negeri Paman Sam sana. Bukan berarti aku ini korban dari arus globalisasi, tapi sebagai manusia generasi milenial justru aku lah produk globalisasi itu. Menurutku, nggak semua hal yang berbau 'asing' itu jelek atau bertentangan dengan budaya kita lho kalau kita selektif. Banyak budaya Amerika yang bagus dan inspiratif. Dari segi pop-culture, misalnya, kita bisa belajar dari sistem pendidikan Amerika dalam ngelahirin SDM unggul berdaya nalar tinggi dan imajinatif. Tahu nggak kalau banyak dari teknologi canggih temuan Amerika itu awalnya terinspirasi dari perangkat fiktif dalam novel fiksi ilmiah, lho! Jadi, sebagai negara berkembang kita bakalan ketinggalan jauh kalau nggak mau belajar sama negara superpower di era global yang serba cepat berkekuatan digital ini. 🏄

Salah satu ambisi terbesarku adalah ngenikahin warna-warni ide dalam otakku melalui prosa dan puisi ber-genre komedi romantis ataupun inspiratif, yang dibumbui pluralisme sosial-budaya, biar bisa ngehibur sekaligus ngepromosiin toleransi pada umat manusia. Bagiku, creative writing adalah lentera penerang bagi setiap mata hati yang sedang buta pada keindahan perbedaan di bumi. 💏

Nggak heran kalau aku aktif banget ngeformulasiin semua pemikiranku di bidang bahasa, sastra, dan budaya di ruang berpikirku, yang bermarkas di blog Culturelitzer (www.culturelitzer.blogspot.com). Melalui blog ini, aku berniat ngebagi cerita non-fiksi ataupun fiksi bertema komunikasi lintas budaya, yang diadaptasi dari pengalaman unikku saat ngobrol bareng sama orang-orang berlatar budaya berbeda (e.g. Amerika, Australia, Belanda, Jerman, New Zealand, Cina, dsb). 👫

Melalui metode story-telling tersebut di atas, aku pengen ngejadiin blog Culturelitzer-ku ini sebagai media digital buat ngepromosiin perdamaian dan toleransi pada plularisme budaya yang ada di bumi ini. Senada dengan visi dan misi pemimpin dunia sekaliber Winston Churchill, yang berambisi ngepromosiin permadaian dunia melalui pendirian organisasi PBB. ✌

Selain itu, aku juga hobi berdialektika tentang konspirasi dunia, sastra, psikologi, dan fiksi ilmiah barengan sama para sindikat literasi super seksi melalui komunitas digital reflective book story telling~ku, yang bernama Bookspectraz. Jadi, buat kalian yang hobi baca buku-buku populer keren, baik yang best-selling maupun anti-mainstream, mending langsung deh follow blog Bookspectraz (www.bookspectraz.blogspot.com). Biar nggak ketinggalan update mingguan Bookspectraz, ikutin juga sosial media-nya melalui Facebook Page: Bookspectraz (Digital Book-Reading Club), Twitter: @Bookspectraz, dan Instagram: @bookspectraz. 📚

Yang terakhir dan nggak kalah penting, aku demen banget belajar sekaligus mengajar linguistik dan bahasa Inggris melalui proyek CALL alias Computer-Assissted Language Learning-ku yang bernama Zoe’s Cyber English World di blog www.zyber-englishworld.blogspot.com. 💻📚 Melalui digital English learning and teaching medium ini, aku pengen niru gebrakan pendidikan ala Amerika Serikat dalam ngemanfaatin perkembangan teknologi informasi (TI) buat ngepromosiin English autonomous learning pada para siswa/mahasiswaku secara khusus dan semua orang secara umum biar objektif mereka buat nguasai Bahasa Inggris secara holistik bisa tercapai dengan lebih efektif dan efisien. Soalnya, menurut hasil penelitian ilmiah, autonomous learning itu adalah salah satu modal terkuat yang harus diberdayain secara optimal oleh manusia kalau mereka pengen ngecapai keberhasilan dalam mempelajari ilmu/keahlian apa pun. 📈📊 

Oleh karena itu, kalau kalian suka belajar bahasa Inggris baik dari segi skill atau pengen mengeksplorasi feature-feature unik bahasa Inggris dari sudut pandang linguistik, jangan lupa follow juga social media online English class-ku di Facebook Page: Zyber English World (Zoe’s Cyber English World), Twitter: @ZyberEngWorld, dan Instagram: @zyber.englishworld. 📡 Dijamin deh wawasan kalian bakalan berkembang. Soalnya, kalau ngomong sama native speaker pakai Bahasa Inggris dalam komunikasi lintas budaya level global itu nggak hanya perlu keahlian listening, speaking, reading, dan writing, tapi kita juga harus tahu socio-cultural context di English speaking countries semacam Amerika, Inggris, dan Australia biar sustansi omongan dan tulisan kita itu bisa akurat sekaligus sesuai dengan budaya (e.g. etiket) para bule. 👍 Gengsi dong kalau kita gagal paham gara-gara ngalamin gegar budaya pas ngomong sama bule-bule keren apalagi kalau bulenya seganteng Alex Pettyfer atau secantik Victoria Justice. 😋

Trus apa alasan ilmiah aku ngerombak konten blog Zealous Zoe, yang dulunya kayak toko kelontong serba ada, menjadi Culturelitzer, yang cenderung berbau Tourist Information Center bertema khusus intercultural communication ini? 🏠

Gini, blog Zealous Zoe dulu kan nggak punya satu topik yang jadi fokus utama karena ngebahas banyak hal, mulai dari curhatan hatiku semasa remaja ababil, review buku/film/lagu, tips, artikel inspirasi, sampai biografi tokoh terkenal. Menurutku, platform media yang nggak jelas visi-misinya alias plin-plan kayak gitu nggak punya ciri khas dan sulit ngebawa perubahan positif yang signifikan buat masyarakat. Pada dasarnya, media massa profesional (e.g. media jurnalistik, penebitan buku) hanya mengusung satu ideologi utama buat menggiring opini masyarakat dalam menanggapi suatu fenomena sosial/budaya/politik melalui sebuah dirkursus tulisan ataupun lisan (e.g. artikel, berita, buku, novel, tv, radio, dsb). 🎳

Oleh karena itu, sebagai pecinta komunikasi lintas budaya, literasi, dan linguistik, aku pengen ngebahas ketiga hal tersebut melalui tiga blog yang berbeda, sehingga pengaruh digital-nya jauh lebih efektif dan efisien. Dalam hal ini, topik komunikasi lintas budaya aku bahas dalam blog Culturelitzer 🎨, sedangkan topik literasi (e.g. book story-telling) aku alihkan ke klub baca buku digital-ku di blog Bookspektraz 📚. Sedangkan topik tentang pembelajaran bahasa Inggris dan linguistik aku mutasi ke blog Zyber English World 📕. Dengan pemisahan platform seperti itu, para pembaca blog di dunia digital bisa lebih fokus buat milih ataupun ngedalamin topik yang mereka gemari. 💝

Well, itu lah perkenalan diri sekaligus klarafikasiku setelah blog Zealous Zoe lama vakum dan kemudian mengudara lagi dengan platform baru bertajuk Culturelitzer. Jadi, jangan ketinggalan update-nya setiap hari Sabtu jam 9 pagi per 2 minggu sekali, ya! Dijamin deh, kalian nggak hanya bakal terhibur, tapi juga bakalan ngedapetin banyak inspirasi, sehingga kalian bisa ngelihat fenomena budaya dengan spektrum pelangi dan nggak mudah jadi masyarakat pengutuk dan penghujat yang hanya kenal warna hitam-putih saja. Padahal, sebagai manusia biasa yang nggak sempurna, kita perlu ngelihat bayangan abu-abu di antara warna hitam-putih itu kalau kita nggak mau ngelukis spektrum me-ji-ku-hi-bi-ni-u. 🎨

By the way, sebelum nutup tulisan bermuatan filosofi tinggi ini dan kembali berkarya di 'studio seni pribadiku', aku punya info, nih! Buat kalian yang punya budaya unik di daerah kaliaatau punya pengalaman unik ngobrol sama orang asing (bule), ayo kolaborasi sama aku melalui proyek komunikasi lintas budaya ini dalam rangka ngebangun jembatan pemersatu budaya antar bangsa. Kalau tertarik, kalian bisa langsung hubungi aku lewat email 💌 culturelitzer@gmail.com, atau kalian bisa baca langsung info lengkapnya dengan nge-click link warna biru berikut ini 👉(Prosedur Kolaborasi Culturelitzer). Cerita unik yang diliput dan dimuat di blog Culturelitzer ini bakalan dapat piagam penghargaan berformat digital, lho! 🎁🏆

So, tunggu apa lagi?! Life is too short to only hang out with the same race, coz I have found bazillion diversities in my global trace. Those beautiful things that I really wanna embrace. Let's emblazone this world with iridescent grace! 💐🎉🎨🎁


Best Regards,



Zuhria Zeffira (Zoe)

ACKNOWLEDGEMENT [FOR THOSE WHO HAVE PAINTED THE MOST IRIDESCENT COLORS ON MY CANVAS OF LIFE)

Written By: Zuhria Zeffira (Zoe)


  
 Pertama-tama aku ucapkan terima kasih buat Tuhan Semesta Alam, yang telah memberiku kesempatan buat jadi bagian dari peradaban homo sapiens di era generasi milenial ini, sehingga aku bisa mengilhami betapa unik dan indahnya warna-warni budaya, yang terlukis pada kanvas kehidupan umat manusia di muka bumi. 🎨💑🎨

Terima kasih juga buat keluargaku (Bapak, Ibuk, Emak, Mas Wildan, Kiki, Devi, Razan, Helena, Asri), yang telah jadi supporting system paling setia sejak aku balita hingga dewasa, sehingga aku bisa tumbuh dan berkembang bersama masyarakat dan budaya khas bumi Arema. Ngalam mbois ilakes! 👪👼👪

Thanks to my Australian mates, Dennis Wilson & Vivi Wilson, atas traktiran sepiring steak-nya. Pengalamanku waktu belanja 'ikan pindang' di supermarket Melbourne (Australia) bikin ngakak. Soalnya, aku nggak tahu Bahasa Inggris-nya 'ikan pindang' itu apa, sampai-sampai aku harus telepon kalian yang lagi ada di Queensland sana. Hax3 😂. Mungkin kapan-kapan gantian aku yang harus traktir kalian makan nasi tumpeng sekalian aku mau jelasin kedasyatan makna filosofis dibalik sajian selametan khas masyarakat Jawa itu pada kalian. 🍱 By the way, respon kalian pada survey penelitianku is really helpful. Menurut hasil survey tersebut, kolerasi jender dan umpatan orang Australia itu ternyata sama saja polanya kayak di Indonesia. Dengan kata lain, dalam konteks tertentu cowok Australia dan Indonesia itu sama-sama lebih sering mengumpat daripada kaum ceweknya. Ha3x 😁👹😁

Next, my best regard goes to all my former inspirational lecturers di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, yang telah mencetakku menjadi salah satu generasi Indonesia yang cerdas, tangguh, dan berbudaya di era globalisasi ini, di antaranya: 🙏👼🙏

Special thanks to Bu Fatimah, dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi sayayang selalu percaya dan tak pernah lelah memberi saya rekomendasi terbaik, sehingga akhirnya saya bisa go-international serta mencicipi indahnya warna-warni budaya di Australia. 🎨Setelah saya pikir secara mendalam, ternyata psycholinguistics itu tak hanya mengeksplorasi bagaimana otak manusia memahami dan memproduksi bahasa, tapi juga bagaimana otak bisa dipakai untuk menginterpretasi konsep maupun praktek budaya melalui mental konsep budaya, yang akan saya jelaskan dalam bagian prolog pembentukan blog Culturelitzer ini. Thus, I still believe that psycholinguistics is the strongest and the most unique cluster in linguistics. It's such a great honor to work with you, Mam! 💝💭💝

Thanks buat Bu Didi, yang telah memperkenalkan betapa kerennya pemikiran progresif kontemporer Amerika Serikat di mata kuliah American Studies. Tugas Intellectual Diary (ID) yang Ibu tugaskan juga menginspirasi saya untuk mendirikan digital narrative bertajuk Culturelitzer (Intercultural Communication Blog) dan Bookspectraz (Digital Reflective Book~Story Telling Club) dengan sedikit sentuhan metode Freedom Writers milik Erin Gruwell yang sudah saya inovasi. Habisnya tugas ID Ibu mirip dengan metode ajar sang guru Bahasa Inggris revolusioner asal Amerika Serikat itu. 👍📝👍

Thanks to Pak Sugeng, yang telah berbagi ilmu di matakuliah Australian Studies, sehingga saya tak terlalu mengalami gegar budaya saat langsung mempraktekkan hidup dalam sistem negara Australia (Melbourne), yang super reguler alias serba teratur cara hidup masyarakatnya. ⏰⏳⏰

Best regard to Bu Wayan, yang telah mengajar saya di matakuliah Introduction to Literature, sehingga saya bisa mengenal puisi dasyat berjudul 'I, Too, Sing America' karya Langston Hughes. Puisi itu benar-benar menginspirasi saya untuk mempromosikan kesetaraan ras dan hak asasi manusia di bumi melalui blog Culturelitzer ini. 🎨💌🎨

Thanks to Pak Yusri, dosen IC saya yang telah menebar inspirasi melalui buku kumpulan cerpen karya beliau, yang berjudul 'Surat Dari Praha'. Saking inspiratifnya, sampai-sampai judul dan substansi ide-nya dicaplok sama artis ibukota, Glenn Fredly, buat bikin film. Novel sastra diaspora Bapak tersebut memang sangat insightful karena saat berada di tanah asing (Australia) saya juga merasakan aura 'individualisme, superioritas' penduduk asli, khususnya orang Kaukasian. Cerpen berjudul 'Berlina' dalam novel Bapak itu sukses merefleksikan keindividualisan masyarakat, yang menurut klasifikasi pakar komunikasi lintas budaya bernama Thomas Hall, termasuk dalam low-context cultures. Dalam blog Culturelitzer ini, saya juga akan menulis diary/cerpen untuk mengeksplorasi aspek-aspek budaya di Amerika, Eropa, dan Australia dari sudut pandang komunikasi lintas budaya. Meskipun orang linguistik, saya tertarik membahas isu-isu linguistik dalam bentuk karya sastra (e.g. novel, cerpen). 📚📝📚

Matur sembah nuwon dumateng Bu Tyas atas ilmu sociolinguistics-nya, sehingga saya bisa mengenal keunikan dari speech community dari seluruh dunia, khususnya Black English milik komunitas Afro-Amerika melalui micro-research kualitatif dari film semi-biopic Eminem, yang berjudul '8 Mile'. Lagu 'Lose Yourself' yang menjadi soundtrack utama film itu juga super inspirational although it's full of expletives. Level ke-fenomenalan Black English setara lah dengan Bahasa Walikan Malang. Mungkin memang pantas Kota Apel Malang disejajarkan dengan The Big Apple New York. Ha3x 💥💬

Special thanks buat Pak Arief, yang telah membimbing saya di matakuliah Theory of Translation, sehingga saya akhirnya tersadarkan kalau ternyata menerjemahkan diskursus lisan maupun tulisan itu tak hanya sekedar menerjemahkan bahasa asing semata, tapi kita juga harus bisa menyesuaikan kata/frase/kalimat terjemahan kita dengan konteks budaya dari bahasa sumber dan bahasa target tersebut. Sesuai lah dengan teori relativist perspectives dalam buku komunikasi lintas budaya berjudul 'Communication Across Cultures: Mutual Understanding in a Global World' karya Manns, H. et. al., yang jadi referensi utama untuk membangun premis mayor ide dalam blog bertajuk Culturelitzer milik saya ini. 🎯💬🎯

Thanks buat Pak Taufan, yang telah merekomendasikan saya buat jadi tutor untuk adik-adik kelas saya tercinta di matakuliah Core-Course Performance Class, sehingga saya bisa langsung mempraktekkan teori sastra dalam pementasan drama dan puisi berbahasa Inggris. Pengalaman praktis itu memotivasi saya untuk terus aktif merangkai dialog-dialog kreatif dalam cerpen-cerpen yang saya kirimkan ke majalah-majalah remaja ibukota, termasuk cerpen yang akan saya terbitkan melalui blog Culturelitzer ini. 🎭

Big thanks to Pak Andhy, yang telah mengajar saya di matakuliah argumentative writing (Writing IV), sehingga saya bisa belajar cara 'melawan' arus mainstream melalui diskursus bertopik kontroversial/unik yang ditulis dari sudut pandang anti-mainstream alias out-of-the box. Modal itu lah yang akan saya gunakan untuk menulis cerita/artikel dalam blog Culturelitzer ini. 💣💢💣

Terima kasih buat Pak Agus, yang telah mempeluas cakrawala berpikir saya melalui matakuliah Sejarah Pemikiran Moderen. Ide pemikiran Nietzsche tentang Ubermensch (Manusia Unggul alias Superman) telah menginspirasi saya untuk mendirikan sebuah sistem bertajuk Ubermenscherz dalam kehidupan pribadi saya melalui formulasi moto kehidupan, yang saya rangkai sendiri dalam Bahasa Jerman berbunyi, 'Lebe Das Leben Um Zu Gewinnen (Live the Life to Win)'. Dan, blog Culturelitzer ini adalah salah satu produk pemikiran saya sebagai seorang 'idealistic philosopher', yang sedang berupaya menjadi seorang pemimpin berkualitas 'superwoman'. 👸💭👸

Vielen dank buat Herr Rizman yang telah mengajari saya Bahasa Jerman, sehingga saya mengenal betapa kuatnya negara asal Mezut Ozil itu. Cerita Bapak tentang insiden terasi di Jerman sukses membuat saya tertawa terpingkal-pingkal semasa kuliah. Saya baru tahu kalau ternyata terasi juga bisa bikin orang diseret ke pengadilan atau bahkan sampai mendekam di penjara. Ha3x Nggak heran deh kalau filosofi Ubermensch lahir di negara bekas dominasi Nazi Adolf Hitler itu. 👮💀👮

Merci beacoup buat Madame Netty atas ilmu Bahasa Perancis-nya yang beraksen sangat seksi. Film Perancis berjudul 'Les Choristes' yang Ibu putar semasa kuliah dulu sungguh menginspirasi! Saya baru tahu kalau nama Perancis 'Morhang' itu pronunciation-nya 'Morong'. Seperti bunyi kata 'teko/ceret' dalam Bahasa Jawa aja. Ha3x 😆 Kini, Paris sering menjadi setting dalam cerpen-cerpen romance karya saya, yang bertema seni musik klasik dan fashion. Frase-frase Bahasa Perancis juga saya masukkan dalam naskah cerpen saya itu sebagai pemanis cerita. Nggak salah deh kalau keseksian Bahasa Perancis sering diasosiasikan dengan negara Napoleon Bonaparte yang berjuluk 'The City of Love' itu. 😍💃😍

Xie-xie ni buat Wulan Laoshi dan Joko Laoshi atas ilmu Bahasa Mandarin-nya. Nama Mandarin 'Manchuria' yang dibuatkan oleh Joko Laoshi khusus buat saya melalui phonological adjustment dari kata 'Zuhria' benar-benar keren! Selain itu, Bahasa Mandarin juga saya gunakan di beberapa dialog dalam proyek novel saya yang berjudul 'Neuro-Arrythmia' dan 'Singapore: I Love You, Lah!'. Soalnya, tokoh utama cowok di kedua proyek novel itu keturunan Indonesia-Tionghoa. Zhongwen shi hen hao! Wo ai ni, lah! 👲💝👲

Bazillion thanks to Pak Mike, yang telah memberi saya kesempatan buat jadi voluntary interpreter bagi sekelompok mahasiswa Amerika dari University of Texas dan Boston University dalam proyek lintas budaya, sehingga saya bisa menjadi jembatan pemersatu budaya Indonesia-Amerika. Pengalaman Amazing Race Malang bersama mereka sangat seru dan menantang. Saya baru tahu loh Pak kalau mayoritas orang Amerika itu nggak mengkonsumsi jeroan dan nggak suka makan durian. 😇👭😇

Thanks juga buat Pak Steven yang telah ngajarin aku Bahasa Inggris beraksen California khas Santa Clara di kelas speaking-nya yang heboh banget. Gimana nggak heboh semua mahasiswa cewek di kelas kalau dosen bulenya sekeren artis Hollywood.😎Setiap denger kata 'California', aku selalu teringat sama kerasnya perjuangan artis-artis Hollywood buat naklukin Los Angeles seperti yang diceritain di video clip lagu-nya band rock kenamaan Amerika, 30 Seconds To Mars, yang berjudul 'City of Angels'. By the way, skrip tugas English situational comedy (sitcoms) dari Bapak sewaktu kuliah kini jadi sumber inspirasi utama buat penulisan novel komedi parodi budayaku yang berjudul 'The Interpreter of Love', lho! I hope it can be published by national major publisher(s). However, it really needs hardwork. 📚💪📚

Vielen dank buat Meneer Jon, yang telah ngeberi aku kesempatan buat magang dan kerja part-time sebagai tour guide, sehingga aku bisa berpetualang bersama bule-bule Eropa, khususnya Belanda, yang punya kedekatan sejarah, bahasa, dan budaya paling dominan dengan Kota Malang. Koel und geweldig! 😎👭😎

Thank you so muchies buat semua temanku selama kuliah di jurusan Sastra Inggris, Universitas Brawijaya, khususnya Lamiz Zoners (Mbak Silvi, Mbak Marissa, Rini, Kiki, Mita, Mbak Raras), GTIB (Rusti, Ucik, Ria, Tatik), serta my other significant crewz (Putri, Pepe, Palupi, Surya, Mas Firdaus, Wulan, Ari, Christine, Ima, Kethut, Aziz, Coza, Sulton, Uma). Pengalaman konyol dan lucu saat menimba ilmu linguistik, sastra, dan budaya bersama kalian di bumi Arema nggak bakalan pernah aku lupain. Suwon, ker! Umak mbois ilakes! Salam satu jiwa! 💑🎨💑

The last but not least, thanks a hecka lot buat semua temanku di SMAN 2 Malang alias SMANDA, khususnya Geng Ketupat ~ Keluarga 3 IPA 4 (Dias, Lalu, Toni, Aji, Angga, Didit, Silvi, Nened, Eric, Adit, Ganggar, Elita, Halim), yang setia menemani masa remajaku buat menguak konspirasi alel-alel dalam pembentukan sebuah DNA genetika manusia bersama Bu Nunik di kelas biologi yang super seru, sehingga aku jadi terinpirasi buat pakai kata Genetika Culturelitzer sebagai judul prolog blog-ku ini. 💊💉🔍

Best regards juga buat Geng The Rascalz 2-5 SMANDA (Bagus, Dani, Ajey, Sugeng) alias komplotan pecinta musik punk berbau Marxisme, yang doyan banget diskusi soal musik cadas anti-kemapanan produk budaya negeri Paman Sam itu. Kapan-kapan aku ceritain deh pengalamanku waktu ngelihat aksi demo para Marxist bule secara langsung di Kota Melbourne (Australia) melalui blog-ku ini! Ternyata, para Marxist di Aussie itu macho-macho dan ganteng-ganteng, lho! Ha3x 💪👀💪

Salam manis semanis gula sakarin buat Geng Drama Taiwan 2-5 SMANDA (Xing-Xing, Agnis, Syukur), yang dulu rambutnya di-rebonding biar terlihat imut-imut kayak Angela Zhang di film Taiwan fenomenal jaman SMA, 'My MVP Valentine'. Dulu, drama karya kalian yang judulnya 'Warisan' sukses ngebuat aku ngakak pas dipentasin di kelas Bahasa Indonesia. Menurutku, substansi cerita drama 'Warisan' karya kalian itu paling berbobot and akting kalian saat itu pun nggak kalah kerennya kalau dibandingin sama artis Hollywood. Nggak salah deh kalau kalian jadi anggota terbaik di klub teater STUPA. Sebagai anak IPA yang juga demen gaul sama anak IPS kayak kalian, aku jadi bisa nyimpulin pola komunikasi lintas budaya antara golongan anak-anak super reguler bernalar logis dengan golongan anak-anak penganut free-will yang doyan banget sosialiasi. Pokoknya, my comrade di SMANDA itu mboiz puol! I miss you all, guys! 💏🎉💑

By the way, kenapa bagian kata pengantar ini panjang banget kayak Tembok Raksasa Cina? Jawabannya karena semua orang yang aku sebutin di atas sangat menginspirasiku, baik secara teoritis maupun praktis, buat ngebidanin cerita-cerita dalam blog Culturelitzer ini nantinya. Tanpa torehan warna-warni fragmen kehidupan mereka semua, Culturelitzer mungkin nggak bakal pernah lahir di dunia digital ini. I love you all and I will always do. That's all. Peace out! 😘😇😘


Best Regards,



Zuhria Zeffira (Zoe)